Tingginya Tingkat Pengangguran Lulusan SMK Dipertanyakan

12-11-2018 / KOMISI X
Ketua Komisi X DPR RI Sutan Adil Hendra. Foto ; Andri/Man

 

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) digadang-gadang menjadi pencetak tenaga kerja yang siap terjun ke lapangan. Tetapi menurut Badan Pusat Statistik (BPS), lulusan SMK justru menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran di Indonesia. Data BPS tahun 2017 menyebutkan, sebanyak 11,41 persen angka pengangguran berasal dari lulusan SMK. Tingginya pengangguran dari lulusan SMK ini pun dipertanyakan.

 

“Lulusan SMK yang digadang-gadang langsung bekerja, malah nganggur. Kami pun berdialog dengan berbagai stakeholder, ada ketidaksesuaian antara jumlah lulusan SMK dengan permintaan pasar tenaga kerja,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI Sutan Adil Hendra melalui rilis yang diterima Parlementaria, Senin (12/11/2018). 

 

Lebih lanjut Sutan menjelaskan, sebenarnya kebutuhan akan tenaga kerja banyak, tetapi tenaga kerja yang tersedia tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan dunia usaha. Pasalnya, pembangunan SMK di berbagai wilayah tidak diikuti tata kelola yang baik, seperti laboratorium yang tidak up to date, kurang mendukung keahlian yang dibutuhkan dunia kerja.

 

“Misalnya bengkel untuk siswa jurusan otomotif, servis bengkel motor masih utak atik karburator, padahal motor-motor zaman sekarang sudah enggak pakai. Kenyataan ini memang mau tidak mau dihadapi para calon pekerja,” tandas Sutan.

 

Legislator Partai Gerindra itu menyoroti, hal ini bukan lagi soal ketimpangan demand dan supply. Namun soal input. Pertama, input siswa SMK. SMK selama ini memiliki passing grade lebih rendah daripada Sekolah Menengah Atas (SMA). 

 

Ia memberikan contoh perbandingan passing grade antara SMK dan SMA dari hasil seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada 2016. Di Jakarta, passing grade untuk SMA sebesar 79,11 sedangkan SMK 66,17. Kota lain misalnya Semarang, untuk SMA sebesar 58,63 sedangkan SMK hanya 24,50. 

 

Kedua, input guru. Kini, jumlah SMK di seluruh Indonesia sekitar 13.710 sekolah, tetapi guru produktif hanya 22 persen. Guru produktif ialah guru yang mengajar mata pelajaran jurusan. Sedangkan 78 persen terkait mata pelajaran lain seperti agama, Bahasa Indonesia dan Kewarganegaraan.

 

Tak hanya jumlah, persoalan guru ini menurutnya juga terkait kompetensi. Ada kemungkinan guru tersebut memang mengampu mata pelajaran produktif, tetapi kadang latar belakang pendidikan tak sesuai. Kemungkinan lainnya, latar belakang mendukung, tapi sang guru tak pernah terjun ke lapangan.

 

“Padahal sekolah kejuruan menuntut anak untuk terlibat aktif bukan duduk, mendengarkan dan menulis. Semua masalah ini perlu kita pikirkan jalan keluarnya, bagaimana meningkatkan daya saing lulusan SMK Tanah Air,” dorong legislator dapil Jambi itu. (rnm/sf)

BERITA TERKAIT
Fikri Faqih Dorong Pendidikan Agama Jadi Pilar Integral dalam Revisi UU Sisdiknas
21-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, menegaskan pentingnya pendidikan agama sebagai bagian tak terpisahkan dalam...
Revisi UU Hak Cipta Rampung, Royalti Musik Lebih Transparan
21-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota DPR RI Komisi X Once Mekel menekankan pentingnya tindak lanjut nyata dari DPR dan pemerintah untuk...
Furtasan: Perlu Redesain Sekolah Rakyat agar Lebih Tepat Sasaran
20-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi X DPR RI menyoroti pelaksanaan program Sekolah Rakyat yang menjadi salah satu prioritas Presiden Prabowo...
Fikri Faqih Terima Aspirasi Forum Guru Honorer dan PPPK di Jateng, Berharap Solusi Atas Persoalan Kepegawaian
17-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta - Keresahan tengah dirasakan ratusan guru honorer dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Jawa Tengah. Persoalan...